Oleh Kawe Shamudra
Anggota Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Kabupaten Batang, Jawa Tengah
Perayaan Idul
Fitri dalam konteks keindonesiaan saat ini memiliki pesan strategis
terkait kondisi moralitas bangsa yang karut-marut. Bangsa ini nyaris
kehilangan roh kesucian karena terlampau banyak menghianati agama.
Tragisnya, fakta demoralisasi justru dipertontonkan sendiri oleh para
elite bangsa. Mereka tanpa malu lagi menunjukkan kebebalan di depan
publik lewat aksi kejahatannya. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan
menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Ironisnya, para
pelakunya mengaku beragama Islam.
Merebaknya kasus korupsi,
riba, perzinaan, pertengkaran antarkelompok, ritual sesat, dan kejahatan
lainnya menjadi sinyal kuat betapa moralitas telah terkontaminasi
berbagai kebusukan tingkah laku manusia. Keterpurukan moral terjadi
karena ajaran agama tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Agama yang
semestinya menjadi benteng moralitas hanya dijadikan lipstik kehidupan.
Iman sebatas diikrarkan dalam lisan dan dijadikan sumber wacana, tidak
menjadi spirit atau rujukan dalam perjuangan hidup. Bahkan, agama
dipisahkan dari kehidupan sosial, politik, dan demokrasi.
Demokrasi
pun menjelma sebagai alat pembenaran terhadap tindakan tercela, bukan
untuk tujuan mencari kebenaran yang sesungguhnya. Segala sesuatu jika
didukung banyak orang dikatakan sebagai kebenaran. Sementara kebenaran
hakiki yang datang dari Tuhan cenderung diabaikan karena hanya
disuarakan oleh kelompok minoritas.
Akibatnya, kehidupan
berjalan liar dan hanya menuruti syahwat kesenangan. Cahaya nurani
menjadi redup bahkan nyaris padam dari sisi kehidupan. Banyak persoalan
publik yang tidak tertangani secara adil. Upaya penyelesaian masalah
justru menghadirkan masalah baru. Akar penyelewengan terhadap ajaran
Islam adalah bengkoknya akidah, ditandai merebaknya syirik terselubung.
Ali
Syari'ati mengingatkan adanya bahaya syirik modern bahwa musuh kita
yang sebenarnya bukanlah kelompok bersenjata atau prajurit, melainkan
sebuah sistem, emosi, pikiran, hak milik, gaya hidup, kolonialisme,
kebudayaan, penipuan agama, birokrasi, teknokrasi, otomisasi, egoisme,
rasisme, dan kapitalisme yang saat ini telah menjadi selubung
kemusyrikan.
Takbiran
Idul Fitri merupakan
momentum untuk memperbaiki keadaan. Selepas bulan Ramadhan, lahirlah
manusia-manusia berjiwa suci dan kembali pada agamanya. Idul Fitri
bermakna kembali pada kesucian secara lahir ataupun batin, sebagai
barometer kesuksesan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hal
tersebut ditandai munculnya jiwa yang bersih dan damai serta hati jernih
jauh dari prasangka dan niat jahat, dan diwujudkan lewat tindakan mulia
berupa amalan kebajikan yang didasari rasa keadilan, persaudaraan,
perdamaian, dan kasih sayang berlandaskan ajaran Islam.
Ajaran
agama merupakan benteng moralitas dan dapat dijadikan pedoman dalam
menyelesaikan segala persoalan sosial dan politik. Maka, diperlukan
semacam gerakan dakwah membangun kesadaran moral bangsa.
Suara
takbiran yang berkumandang di sepanjang malam menjelang 1 Syawal
sesungguhnya merupakan seruan kepada seluruh umat agar kembali pada
tauhid, pengesaan Tuhan. Imbas dari pengamalan tauhid diharapkan dapat
menggerakkan para pemeluknya untuk membersihkan kehidupan kebangsaan
dari pencemaran moral. Kumandang takbir bukan sekadar ritual tahunan
yang kosong makna, sebab di dalamnya tersirat ajakan untuk kembali pada
tauhid dan pengagungan kepada Tuhan penguasa alam semesta. Ini merupakan
saat yang tepat bagi kaum Muslim untuk melepas energi negatif
kemusyrikan yang bersemayam dalam jiwa.
Gema takbir, tahlil,
dan tahmid diharapkan menghadirkan efek positif bagi orang yang beriman
kepada Allah untuk kembali ajaran-Nya, tidak hanyut dalam kesibukan dan
keasyikan dunia. Pun mengingatkan manusia untuk kembali pada kesucian
dan kebenaran serta meninggalkan kesesatan untuk meraih kemenangan,
meskipun orang kafir tidak menyukainya.
Lafal-lafal takbir
memiliki kekuatan dahsyat, tidak saja dari sisi kesyahduan nadanya yang
mengharukan, tapi juga untaian kalimatnya yang mampu menyentuh relung
batin, mampu meluluhkan kesombongan dan membangkitkan kesadaran.
Kekuatan rahasia tersebut senantiasa mengingatkan kita akan kepalsuan
segala klaim keduniawian. Di jagat semesta ini hanya ada satu Tuhan Yang
Mahabesar, yang pantas disembah dan diikuti ajaran-Nya. Tidak ada
ajaran yang dapat membahagiakan kecuali ajaran tauhid.
Republika. online 30 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar