Selasa, 30 Agustus 2011

Idul Fitri, Antara Ibadah dan Tradisi


Maksun
Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

Tradisi penyambutan hari raya Idul Fitri, yang dianggap sebagai hari kemenangan bagi umat Islam, sebenarnya telah dimulai sejak zaman Arab purba. Orang Arab purba mengadakan pesta pada setiap tanggal 1 Syawal dengan aneka ragam permainan. Tradisi ini, menurut Imam al-Thabari, berlangsung terus hingga Nabi SAW migrasi ke Madinah.

Menurut penuturan sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, pada suatu hari raya, Nabi SAW dan isterinya, Aisyah RA, menyaksikan tari-tarian perang, ketangkasan panah-memanah dan menunggang kuda di halaman masjid yang dilakukan oleh serombongan Arab Sudan yang disebut Bani Arfidah. Rasulullah tidak berkomentar apa pun mengenai pertunjukan yang sudah menjadi tradisi mereka bila menyambut hari raya itu. Pada hari raya yang lain, masih menurut Imam Bukhari, di rumah Nabi SAW terdengar dua orang wanita menyanyi. Abu Bakar al-Shiddiq melarangnya dengan mengatakan: "Seruling setan di sisi Nabi", akan tetapi Nabi SAW membiarkannya, mengingat waktu itu adalah hari raya.

Sementara itu, ketika Nabi SAW berkunjung ke Madinah, beliau menjumpai publik Madinah yang telah mempunyai tradisi dua hari untuk bermain-main ketika Idul Fitri tiba. Seketika itu pula Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya, Allah SWT telah menggantikan untukmu dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu  hari raya Idul Fitri dan Idul Adha". Ini berarti, Rasulullah menganjurkan kepada komunitas muslim Madinah supaya hari itu diisi dengan memperbanyak zikir, melaksanakan shalat Id dan memperbanyak amal saleh lainnya.

Terkesan kontradiktif

Uraian di atas mengindikasikan dua paradigma pemikiran Nabi yang terkesan kontradiktif, yakni sikap beliau yang kooperatif (membiarkan) terhadap tradisi Arab pada umumnya di saat merayakan Idul Fitri dan mengkritik tradisi publik Madinah dengan memberikan solusi alternatif yang lebih positif dan bernuansa ibadah. Mengapa demikian?

Sebenarnya, apa yang dilakukan Rasulullah itu justru merupakan sikap bijak yang diterapkannya di saat menghadapi dua bentuk masyarakat yang kualitas keimanannya tidak sama. Terhadap orang Arab yang kualitas keimanannya masih relatif rendah (mualaf), Rasulullah bersikap pasif dan akomodatif agar tidak terjadi gejolak pada mental mereka secara drastis. Namun, terhadap publik Madinah yang lebih kuat imannya, Rasulullah secara tegas mengkritik dan menegurnya.

Dari sikap Rasulullah yang terkesan ambigu itu dapat dipahami bahwa pada Hari Raya Idul Fitri hendaklah seluruh  potensi umat Islam dikerahkan untuk menyambut hari kebahagiaan itu dengan penuh kekhidmatan. Ia harus disambut bukan, misalnya, dengan cara membakar petasan, bersuka ria di tempat-tempat pesta, makan yang berlebihan, dan berlomba-lomba dalam hal kemewahan duniawi yang lebih terkesan konsumtif dan pleonastis (mubazir).

Tetapi, Idul Fitri harus disambut dengan mengagungkan Asma Allah, mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil, serta melaksanakan shalat Id yang khusyuk dan dengan khutbah yang menyeru manusia bertakwa dan beramal saleh. Dan, untuk lebih menyempurnakan suasana penyambutan hari raya itu, maka sebelum datang menghadiri shalat Id, dianjurkan mandi dulu, memakai pakaian yang baik lagi bersih, dan memakai parfum.

Di samping itu, untuk lebih menciptakan suasana ukhuwah Islamiah dan ukhuwah insaniah (persaudaraan insani), maka umat Islam sangat dianjurkan untuk berkunjung dari rumah ke rumah (silaturahim), memberikan derma kepada kaum papa, dan berziarah ke makam guna mendoakan para leluhur. Tradisi semacam ini sungguh penting untuk tetap dilestarikan.

Halal bihalal

Di antara bentuk tradisi di bulan Syawal yang sarat akan muatan nilai ibadah adalah halal bihalal. Di dalam Alquran dan Hadis, kita tidak menemukan satu pun penjelasan tentang arti halal bihalal. Menurut Quraish Shihab, istilah tersebut memang khas Indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan non-Indonesia, walaupun yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab.

Secara definitif, demikian lanjut Quraish Shihab, istilah halal bihalal dapat memberikan tiga arti yang berbeda. Pertama, dari segi hukum, maka kata halal adalah lawan kata haram. Halal yang dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal, akan memberikan kesan bahwa dengan cara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.

Kedua, dari segi  linguistik, kata halal diambil dari akar kata halla atau halala, yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain: menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan demikian, makna halal bihalal dalam perspektif ini, seakan-akan kita menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas, walaupun kesemuanya belum tentu haram.

Ketiga, dari tinjauan Qurani serta kesan-kesan penggunaan kata halal dalam Alquran dapat disimpulkan bahwa halal yang dituntut adalah halalan thayyiban, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Alquran menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh Muslim harus merupakan sesuatu yang baik lagi menyenangkan.

Dari beberapa pengertian di atas, maka halal bihalal (silaturahim) menuntut adanya upaya saling maaf-memaafkan. Kata maaf, yang berasal dari Alquran al-'afwu, berarti menghapus, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hati. Ini artinya, bukanlah memaafkan namanya manakala masih tersisa bekas luka di hatinya dan masih ada dendam yang membara.

Itu sebabnya-berdasarkan teks-teks keagamaan-para pakar hukum Islam menuntut dari seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi (taubatan nashuha) serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya, baik berupa materi maupun immateri.

Secara praktis, hal itu memang akan sulit dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat kesalahan. Artinya, manakala seseorang yang berbuat kesalahan itu telah menyampaikan kata maaf, mungkin bukannya maaf yang diterima, namun justru kemarahan dan putus hubungan. Dalam hal ini, Nabi SAW mengajarkan sebuah doa: "Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa pada-Mu dan dosa yang kulakukan pada mahluk-Mu. Aku mohon ya Allah agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan pada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan pada mahluk-Mu".

Sebenarnya, di dalam Alquran terdapat peringkat yang lebih tinggi dari al-'afwu, yakni al-safhu. Kata yang terakhir ini pada mulanya berarti kelapangan dari sesuatu. Dari kata itu terbentuk kata safhat, yang berarti lembaran atau halaman, dan musafahat, yang berarti berjabat tangan. Ini berarti, seseorang yang melakukan al-safhu, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menanggung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

Menurut al-Raghib al-Asfahany, seorang pakar bahasa Arab dan Alquran, bahwa al-safhu yang diilustrasikan dengan berjabat tangan itu lebih tinggi nilainya dari pada memaafkan. Agaknya benar juga pandangannya ini. Bukankah masih mungkin ada satu-dua titik yang sulit bersih pada lembaran yang salah walaupun kesalahannya telah dihapus? Atau, bukankah lembaran yang telah ternodai walaupun telah bersih kembali tidak bisa sama dengan lembaran baru?

Walhasil, di hari yang fitri ini, marilah kita buka lembaran baru dan tutup lembaran lama. Wujudkan sikap yang positif, penuh toleransi, perkukuh persaudaraan insani, dan pertebal keimanan karena yang demikianlah yang paling disukai oleh Tuhan yang Maha Hadir (omnipresent). Demikian, selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H.

Republika. online 29 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar