Prof Dr Asep S Muhtadi
Di pengujung
Ramadhan, ada hari istimewa yang biasa disebut hari kemenangan. Pada
hari kemenangan itu, seluruh umat Islam merayakannya dalam beragam
bentuk aktivitas dengan tetap memelihara suasana keagamaan. Di antara
mereka ada yang menyambut hari kemenangan itu dengan menabuh beduk sejak
sehari sebelumnya, menggemakan takbir di masjid-masjid, atau sekadar
saling berkirim makanan dengan tetangga terdekat.
Tak jarang di
antaranya yang memanfaatkan hari istimewa itu dengan berziarah
mengunjungi makam keluarga ataupun leluhur yang telah mendahuluinya.
Aktivitas mudik yang telah menyita perhatian banyak kalangan pun menjadi
bagian dari tradisi masyarakat yang masih utuh terpelihara. Semuanya
untuk merayakan hari kemenangan.
Inilah di antara nuansa
pembauran antara tradisi dan ajaran. Pembauran yang jika ditelusuri
berakar pada dimensi interpretasi. Dalam kasus berganti baju, misalnya,
Nabi SAW memang pernah mengisyaratkan untuk mengenakan pakaian yang
terbaik. Tetapi, bukan dengan sengaja diada-adakan. Dan, tatkala ajaran
itu mulai memasuki wilayah yang kaya budaya, lahirlah tradisi baru
melalui proses persekutuan antara ajaran dan kebudayaan.
Lebaran
kini bukan lagi fenomena ritual yang universal, tapi telah bergeser
menjadi tradisi lokal. Tradisi yang sewaktu-waktu dapat berubah,
bertambah atau berkurang. Seperti hilangnya tradisi bertukar makanan,
atau munculnya tradisi "halal bihalal" formal. Atas nama kedudukan, di
kantor-kantor digelar halal bihalal. Atas nama demokrasi ataupun
cita-cita berkuasa, partai politik pun menyelenggarakan acara bersalaman
massal. Bersalaman politik yang penuh dibumbui basa-basi.
Malah
di Bali, Lebaran disebut Magalungan Jawa. Istilah "galungan" sendiri
digunakan untuk mengakrabkan upacara keagamaan orang-orang Islam dengan
tradisi keagamaan masyarakat lokal yang punya upacara Galungan Bali.
Sedangkan kata "Jawa" digunakan untuk mengaitkan sejarah kedatangan
Islam ke Bali yang dibawa oleh orang-orang Jawa.
Pencampuran
kedua istilah itu, kira-kira, untuk menunjukkan: Inilah upacara
Galungan-nya orang-orang Islam. Orang Islam sendiri tentu tidak
keberatan dengan sebutan itu. Bahkan, lebih mampu memperlihatkan
keakraban sosial untuk saling memahami perbedaan dalam beragama.
Masyarakat Bali memang cermin masyarakat beragama dengan suasana sosial
yang sangat religius. Ketika masyarakat Muslim meramaikan hari Lebaran,
orang Bali pun menyampaikan selamat dengan caranya sendiri sebagai
penghormatan dan sikap toleransi.
Di sini lebih tampak
perjumpaan antara agama dan kebudayaan. Menurut para sosiolog, ekspresi
keagamaan seperti itu merupakan salah satu produk tradisionalisasi
agama. Melalui pintu inilah saudara-saudara di luar Muslim dapat ikut
menikmati hari kemenangan Idul Fitri. Mereka dapat berbahagia tanpa
harus mengikuti ritual layaknya seorang Muslim, karena kemenangan ini
adalah kemenangan untuk semua.
Sumber Republika online. 27 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar