Sabtu, 27 Agustus 2011

Kemenangan untuk Semua

Prof Dr Asep S Muhtadi

Di pengujung Ramadhan, ada hari istimewa yang biasa disebut hari kemenangan. Pada hari kemenangan itu, seluruh umat Islam merayakannya dalam beragam bentuk aktivitas dengan tetap memelihara suasana keagamaan. Di antara mereka ada yang menyambut hari kemenangan itu dengan menabuh beduk sejak sehari sebelumnya, menggemakan takbir di masjid-masjid, atau sekadar saling berkirim makanan dengan tetangga terdekat.

Tak jarang di antaranya yang memanfaatkan hari istimewa itu dengan berziarah mengunjungi makam keluarga ataupun leluhur yang telah mendahuluinya. Aktivitas mudik yang telah menyita perhatian banyak kalangan pun menjadi bagian dari tradisi masyarakat yang masih utuh terpelihara. Semuanya untuk merayakan hari kemenangan.



Inilah di antara nuansa pembauran antara tradisi dan ajaran. Pembauran yang jika ditelusuri berakar pada dimensi interpretasi. Dalam kasus berganti baju, misalnya, Nabi SAW memang pernah mengisyaratkan untuk mengenakan pakaian yang terbaik. Tetapi, bukan dengan sengaja diada-adakan. Dan, tatkala ajaran itu mulai memasuki wilayah yang kaya budaya, lahirlah tradisi baru melalui proses persekutuan antara ajaran dan kebudayaan.

Lebaran kini bukan lagi fenomena ritual yang universal, tapi telah bergeser menjadi tradisi lokal. Tradisi yang sewaktu-waktu dapat berubah, bertambah atau berkurang. Seperti hilangnya tradisi bertukar makanan, atau munculnya tradisi "halal bihalal" formal. Atas nama kedudukan, di kantor-kantor digelar halal bihalal. Atas nama demokrasi ataupun cita-cita berkuasa, partai politik pun menyelenggarakan acara bersalaman massal. Bersalaman politik yang penuh dibumbui basa-basi.

Malah di Bali, Lebaran disebut Magalungan Jawa. Istilah "galungan" sendiri digunakan untuk mengakrabkan upacara keagamaan orang-orang Islam dengan tradisi keagamaan masyarakat lokal yang punya upacara Galungan Bali. Sedangkan kata "Jawa" digunakan untuk mengaitkan sejarah kedatangan Islam ke Bali yang dibawa oleh orang-orang Jawa.

Pencampuran kedua istilah itu, kira-kira, untuk menunjukkan: Inilah upacara Galungan-nya orang-orang Islam. Orang Islam sendiri tentu tidak keberatan dengan sebutan itu. Bahkan, lebih mampu memperlihatkan keakraban sosial untuk saling memahami perbedaan dalam beragama. Masyarakat Bali memang cermin masyarakat beragama dengan suasana sosial yang sangat religius. Ketika masyarakat Muslim meramaikan hari Lebaran, orang Bali pun menyampaikan selamat dengan caranya sendiri sebagai penghormatan dan sikap toleransi.

Di sini lebih tampak perjumpaan antara agama dan kebudayaan. Menurut para sosiolog, ekspresi keagamaan seperti itu merupakan salah satu produk tradisionalisasi agama. Melalui pintu inilah saudara-saudara di luar Muslim dapat ikut menikmati hari kemenangan Idul Fitri. Mereka dapat berbahagia tanpa harus mengikuti ritual layaknya seorang Muslim, karena kemenangan ini adalah kemenangan untuk semua.

Sumber Republika online. 27 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar