Oleh Prof M Abdurrahman
Dosen Fakultas Syariah Unisba
Zakat
yang dimaknai secara lughawi berarti tumbuh berkembang dan kemudian
dimaknai sebagai suatu kesucian terhadap diri atau harta, merupakan
kewajiban Islam yang amat banyak tercantum dalam Alquran dan hadis.
Zakat adalah rukun Islam yang kelima, dan orang yang tidak
mengeluarkannya dicela dan akan mendapat siksa yang keras di akhirat.
Objek
zakat sekarang amat banyak sesuai pertumbuhan ekonomi sehingga tidak
terbatas, sebagaimana yang tercantum eksplisit dalam Alquran dan hadis
Rasulullah SAW. Sumber zakat yang banyak disebutkan dalam Alquran dan
selanjutnya dalam hadis Rasulullah bahkan disebutkan ukurannya dan
kepantasannya. Dalam telaah kontemporer, sumber zakat makin berkembang
sesuai dengan perkembangan ekonomi saat ini.
Dalam telaah fikih
zakat kontemporer, umpamanya, pencermatan metodologis menjadi perhatian
para ulama fikih kontemporer. Syaikh Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili,
dan Majelis Fatwa di Saudi, Sudan, Kuwait, dan lain-lain memberikan
alternatif dan solusi-solusi dalam menyelesaikan zakat barang-barang
masa kini yang dianggap pada masa silam baru merupakan isyarat-isyarat
atau masalah lain sama sekali. MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah,
Bahstul-Masail NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain berperan besar
dalam menentukan objek yang harus dizakati. Di sinilah peran fukaha
dalam mengembangkan pemikirannya.
Untuk itu, tak akan lepas
suatu masa pun dari hukum yang harus dipedomani. Hukum tersebut harus
memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga tidak ada yang merasa
diuntungkan dan atau dirugikan. Maka hukum, apa pun produknya, tidak
lepas dari karakter hukum itu sendiri. Pelaksanaan kewajiban zakat tak
hanya mengacu pada tuntunan Alquran dan sunah, tetapi terhadap produk
Undang-Undang No 38 Tahun 1999, Kepmen Agama RI No 373 Tahun 2003, dan
Fatwa MUI 03 Tahun 2003.
Jadi, masalah zakat dan hukumnya secara
syari dan perundang-undangan sudah amat jelas, sehingga memudahkan umat
untuk melaksanakan kewajiban ini secara benar, konsisten, dan sesuai
dengan perundangan yang berlaku. Negara sudah melaksanakan syariat zakat
ini, dan diperbolehkan bagi ormas dan atau LSM yang akan mendirikan
lembaga zakat dengan syarat diharuskan ada izin dari negara, sehingga
muncul yang disebut LAZ. Walaupun adakalanya menjadi bias adanya
lembaga-lembaga penarik zakat secara khusus tanpa memiliki umat yang
jelas, seolah-olah masyarakat dieksploitasi dengannya.
Memang
banyak perbedaan antara pajak dan zakat. Contoh yang jelas bahwa zakat
itu harus harta yang tumbuh berkembang, sementara harta diam yang tidak
berkembang ditarik pajaknya. Rumah, tanah, kendaraan, dan lain-lain yang
tidak menghasilkan tidak ada zakat. Sementara dalam pajak, nanti ada
yang disebut PBB (pajak bumi dan bangunan), pajak kendaraan, pajak
pembelian, penjualan, bahkan makan di rumah makan pun ada pajaknya.
Kewajiban
pajak bagi penduduk adalah bagian dari maslahah mursalah dalam konteks
fikih Islam asal tidak ada kezaliman dan mencekik wajib pajak. Artinya,
negara boleh menariknya terhadap umat Islam asalkan diterapkan
prinsip-prisnsip syariah, yaitu amanah (kejujuran), 'adalah (keadilan),
musawah (kesamaan), tasamuh (toleransi), ta'awun (saling membantu),
takaful ijtima (tanggung jawab bersama), dan 'adamul masyaqqah (tidak
memberatkan).
Bila pajak dinilai memberatkan wajib pajak bahkan
kezaliman, maka agama melarang kezaliman itu, yang ada harus adil.
Prinsip-prinsip yang dimaksud dalam konteks pajak di atas ialah sebagai
berikut: Amanah yang dimaksud dalam konteks pajak tentu saja berkaitan
dengan para penarik dan pengelolanya. Adalah merupakan kewajiban para
penarik pajak menyetorkan kepada negara sesuai dengan yang
dihasilkannya.
Demikian pula pengelolaannya harus jelas ke mana,
berapa besaranya, dan untuk apa. Bila tidak, kasus perpajakan
sebagaimana terjadi akhir-akhir ini akan terus terjadi. Permainan antara
pemberi wajib pajak dan pengelola, bahkan dengan para pemungut, menjadi
problem yang tak henti-hentinya. Kasus di suatu daerah tentang upah
pungut kemungkinan ada kesenjangan mekanisme dan implementasi antara
pemerintah pusat dan daerah. Prinsip-prinsip amat jelas, sebagaimana
dipahami selama ini.
Kasus mafia pajak yang selama ini
menggerogoti uang negara, uang rakyat pembayar pajak, diakibatkan oleh
para pelaksananya bukan orang yang jujur (amanah), bahkan dari sini
muncul para mafia hukum yang berkaitan dengan pembebasan para narapidana
pajak.
Prinsip keadilan merupakan sisi lain yang perlu
diperhatikan negara dalam penarikan pajak. Bukan hanya keadilan dalam
menetapkan besarnya pajak, melainkan adil dalam distribusi dan
menetapkan para pelanggar pajak. Di sinilah tanggung jawab negara dalam
mengelola keuangan pajak yang semula rakyat, walaupun berat dan telat,
tetap pajak itu dibayar sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Namun,
bila dalam perpajakan ada kezaliman terhadap wajib pajak atau pajak
digunakan terhadap sesuatu yang diharamkan agama, itu adalah suatu
bentuk kezaliman. Pajak harus digunakan untuk kemaslahatan negara, umat,
dan bangsa. Sehubungan dengan kezaliman, Rasul pernah bersabda, "Tidak
akan masuk surga pengambil usyr (sepersepuluh) penghasilan dengan
khianat". (HR Ahmad). Bila kezaliman terjadi dalam pajak, bahkan zakat
sekalipun, maka hukumnya haram. Dan bahkan Imam az-Zahabi menyatakan
bahwa itu dosa besar.
Dalam konteks perundangan di
Indonesia, diwacanakan bahwa zakat akan mengurangi pembayaran pajak. Hal
ini dapat dibenarkan dan patut disambut dengan hati terbuka dan
disyukuri agar tidak memberatkan kaum Muslim yang sudah wajib zakat dan
pajak. Sebagaimana di negara Muslim lain, ada yang sudah menerapkan
model pajak dan zakat, sehingga zakat sudah dipisahkan langsung oleh
negara.
Kasus Sudan, misalnya, ada kantor yang disebut dengan
Maslahah Zakah wa Dhara'ib (Kantor Zakat dan Pajak), sehingga negara
berperan menetapkan pajak dan zakat setiap warga negara. Ini artinya
negara harus membangun citra kejujuran dalam segala aspek dengan model
yang disebut clean government. Memang, pembiayaan negara dan pembangunan
ini sebenarnya dapat di-cover dengan hasil tambang, hasil hutan, serta
kekayaan alam lainnya, sekiranya dikelola secara transparan dan jujur.
Sayangnya, segala hasil bumi sudah dikuasai perusahaan asing sehingga
negara harus mengambil pajak kepada masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar