Kamis, 14 April 2011

Muhammadiyah dan Pemberdayaan Sosial

Edi Setiawan
Peneliti PSAP dan Ketua DPD IMM DKI Jakarta

Sudah hampir 11 tahun reformasi di Indonesia bergulir, tetapi kondisi kaum miskin belum mengalami perbaikan yang berarti. Rakyat makin susah mencari sesuap makan, ditambah dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang sangat menyakitkan rakyat. Kenyataan ini masih banyak kita jumpai. Petani dan nelayan semakin sengsara hidupnya.

Hal di atas bukan disebabkan oleh individual atau kultural semata, melainkan ada sebab-sebab struktural termasuk di dalamnya banyak sekali kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang tidak berpihak pada mereka, misalnya, kebijakan pemerintah itu tentu saja memukul usaha-usaha rakyat di bidang peternakan, pertanian, dan lain-lain (Said Tuhuleley: 2010).  

Sebagai organisasi dakwah, pendidikan, dan sosial, Muhammadiyah mendasarkan diri pada surat al-Ma'un. Pada pokoknya, isi surat al-Ma'un tersebut menggugah tanggung jawab sosial bagi kalangan mustakbirin agar bisa menyisihkan sebagian kekayaan atau pendapatannya untuk diberikan kepada yang berhak menerima (mustad'afin), terutama kaum miskin. 

Dalam perkembangan dan kondisi masyarakat yang sudah berubah, peranan Muhammadiyah sebagai organisasi tidak hanya sebagai pembangkit tanggung jawab sosial, tapi juga harus dapat melakukan aplikasi dalam memberdayakan masyarakat dengan mengembangkan amal usaha di lapisan bawah (grass root).

Tidak itu saja, Muhammadiyah juga harus memiliki kepedulian terhadap kegiatan ekonomi yang sangat membantu usaha-usaha dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang harus dibentengi meliputi; perdagangan, pembelanjaan, dan pemberian informasi. Kegiatan ekonomi ini bagian yang amat penting untuk memperlancar gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan pemberdayaan.

Di samping itu, gerakan dakwah sangatlah dekat dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Hal ini kalau diseriusi akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan Muhammadiyah dengan mendirikan balai peningkatan kreativitas rakyat yang bisa mengatasi problem pengangguran yang semakin meningkat. Pemberdayaan lewat ini tidak saja dilakukan pada implementasi, tetapi juga pada kapasitas dalam membangun etos kerja yang sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang tentunya etos kerja yang berlandaskan Islam.

Dengan begitu, gerakan pemberdayaan masyarakat miskin bagi Muhammadiyah memberikan imbas positif bukan hanya aspek sosial-ekonomi melainkan juga teologi. Dalam kaitan ini, Muhammadiyah harus bisa merumuskan masalah ekonomi menjadi salah satu dari beberapa misi dakwahnya.

Sebetulnya, sejak awal pendirian Muhammadiyah para founding father telah merintis pada bidang pemberdayaan masyarakat yang dulu disebut Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Namun, dalam perjalanannya, bidang pemberdayaan masyarakat ini kurang optimal. Karena mungkin saja di era kemerdekaan, paradigma yang dibangun pada saat itu ialah masalah pemberdayaan adalah urusan negara, bukan urusan bersama.

Kalau kita lihat ke belakang, yaitu peran Muhammadiyah dari muktamar ke muktamar selalu menghasilkan kebijakan yang strategis bagi kaum miskin. Misalnya, muktamar tahun 2000 di Jakarta, disadari bahwa kehidupan rakyat setelah reformasi tidak ada perubahan yang berarti. Kemudian, Muhammadiyah mulai merintis upaya untuk mengembalikan lagi vitalitas awal untuk menolong rakyat miskin.

Lalu, muktamar tahun 2000 dibentuk Lembaga Buruh, Petani, dan Nelayan. Selanjutnya, pada Muktamar 2005 di Malang lebih direalisasikan lagi menjadi Majelis Pemberdayaan Masyarakat yang programnya mencakup pada empat hal, yaitu advokasi kebijakan, peningkatan pendapatan rakyat terutama rakyat miskin dan yang terpinggirkan (petani, peternak, dan nelayan), pendidikan dan penyadaran masyarakat, serta recovery pascabencana.

Melihat rekam jejak muktamar tadi, alhasil Muhammadiyah lewat MPM sudah mampu memberdayakan 70 kabupaten, meskipun program berjalan baru sekitar 40 kabupaten, antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Maluku, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Sumatra Barat. Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang menempatkan diri sebagai gerakan amar ma'ruf nahi munkar dalam masyarakat, sudah mampu memberikan peran-peran penting dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mewujudkan tatanan masyarakat, yang memiliki sistem kelembagaan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridha Allah SWT.

Strategi pemberdayaan ekonomi Muhammadiyah tidak hanya mencakup upaya membangun kesadaran tentang kekuatan ekonomi umat pada tingkat lokal, dengan pendekatan partisipasi menuju kemandirian yang bersifat kelembagaan, misalnya dengan membentuk Jaringan Swadaya Masyarakat (JSM) di tingkat ranting dan usaha unggulan jama'ah (UUJ) di tingkat cabang. Sedangkan di tingkat wilayah, Muhammadiyah membentuk Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) yang bisa berbentuk Koperasi Syariah. 

Pada tingkat pusat, Muhammadiyah menumbuhkan sejumlah infrastruktur ekonomi dengan mendirikan outlet dan grosir serta membangun sistem JAMIAH (Jaringan Ekonomi Muhammadiyah). Muara kebijakan tadi lebih kepada membangun kekuatan sendiri (mandiri) dan tidak terjebak pada ekonomi kapitalis.

Kemudian, melakukan peningkatan kapabilitas anggota selaku pengusaha kecil, dan pengembangan sikap, perilaku, dan etika bisnis Islami yang membentuk pebisnis Muhammadiyah yang penuh gairah dan daya juang yang ikhlas dan istikamah. Paradigma pembangunan (development) ini lebih ditekankan pada perubahan dari atas ke bawah (top-down), dan pemberdayaan yang menekankan perubahan dari bawah ke atas (bottom-up). Sehingga memunculkan gerakan sosial yang kerap disebut sebagai gerakan sosial baru (the new social movement) sebagai perwujudan dari pemberdayaan ekonomi (AS Hikam, 2009).

Pembangunan bukan menempatkan negara atau pemerintah sebagai faktor utama perubahan sosial, yang mengesampingkan bahkan terkadang menafikan posisi publik. Melainkan publik (masyarakat) sebagai subjek perubahan. Dengan paradigma pemberdayaan (empowerment) subjektif, Muhammadiyah dapat memberikan kesempatan pada kelompok masyarakat untuk merencanakan, dan kemudian melaksanakan progam pembangunan yang mereka pilih sendiri (Fakih, 2002: 62).

Dalam paradigma seperti ini, negara tidak menempati posisi utama sehingga partisipasi publik dalam pengertiannya yang esensial dapat tumbuh secara signifikan. Sehingga apa yang dikatakan Shardlow (2001) pada intinya bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri, serta mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka dan harapan publik.

Dengan postulat ini, peranan Muhammadiyah dalam pengembangan sumber daya manusia dapat berpengaruh terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat secara mandiri. Dengan semakin tingginya sumber daya yang dimiliki, pemberdayaan ekonomi masyarakat akan dapat terus meningkat. Setidaknya problem ini secara implisit mencakup ada tiga aspek pendekatan yang dapat ditempuh oleh Muhammadiyah, dalam upaya memberdayakan ekonomi masyarakat.

Pertama, pendekatan struktural yang bertujuan mempengaruhi kebijaksanaan publik agar terbuka akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi. Kedua, pendekatan fungsional dengan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan mengalokasikan secara efisien dan produktif sumber daya yang dapat dihimpun. Ketiga, pendekatan kultural dengan mengembangkan nilai yang memperkuat etos kerja dan etika bisnis.

Dengan kekuatan tadi, Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat diharapkan mampu menjadi kekuatan penyeimbang, juga memiliki kemampuan untuk melakukan pemberdayaan (empowering) bagi masyarakat dan dapat membangun kekuatan ekonomi baru. Karena itu, Muhammadiyah harus bisa membangun program pemberdayaan masyarakat yang sudah berjalan bagus sehingga diharapkan dapat diduplikasi secara masif di berbagai tempat. Masyarakat yang berhasil diberdayakan tidak harus dari kalangan Muhammadiyah saja, tetapi juga dari berbagai kalangan, termasuk non-Islam sebagai bagian dari dakwah. Amin dan semoga.

Republika online. 8 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar