Selasa, 14 Juni 2011

Mahalnya Harga Kejujuran




Kaget tersentak, dan juga sedih, ternyata yang kita sedang sakit, dan krisis kejujuran, inilah potret mahalnya kejujuran yang ditulis dalam tajuk rencana republika. Selamat membaca. 

Akhir-akhir ini, kejujuran mulai tampak makin hilang dari pribadi-pribadi manusia Indonesia. Betapa tidak, banyak orang yang sudah tak mau lagi memedulikan soal kejujuran ini dalam kehidupan sehari-harinya. Kalau pun ada yang konsisten dengan hal itu, mereka harus berhadapan dengan berbagai risiko dari kejujuran yang dilakukannya.

Lihatlah kasus yang menimpa Nyonya Siami dan keluarganya, warga Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Maksud hati melaporkan perbuatan curang sejumlah siswa SDN Gadel 2 Surabaya kepada kepala sekolah, atas perbuatan menyontek massal siswa sekolah tersebut sehingga menyebabkan anaknya yang berinisial AI mengalami trauma. Apa daya laporannya justru dianggap mencemarkan nama baik sekolah. 

Akibatnya, Nyonya Siami dan keluarganya harus menanggung beban atas kejujuran yang disampaikannya. Dia dan keluarganya didemo oleh ratusan siswa SDN Gadel 2 Surabaya. Tak hanya itu, warga di sekitar kediaman Nyonya Siami pun turut mengecam laporannya ke pihak Dinas Pendidikan Surabaya. Karena demo yang dilakukan beberapa kali ke rumahnya, AI semakin trauma. 

Mereka pun sempat diungsikan ke Mapolsek Tandes untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari warga dan rekan-rekan AI. Kini keluarga Nyonya Siami terpaksa harus meninggalkan Gadel. Perbuatan Nyonya Siami yang baik, harus dibayar mahal karena kejujurannya atas tindak siswa-siswi SDN Gadel 2 yang melakukan sontek massal. Sungguh disayangkan.

Peristiwa di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus ketidakjujuran yang terjadi di masyarakat Indonesia. Bukan hanya warga dan guru SDN Gadel 2 yang tidak jujur, melainkan juga para elite politik dan pemimpin negeri ini. Berbagai kasus korupsi yang membuat bangsa ini terpuruk di mata internasional, banyak yang ditutup-tutupi. 

Mereka berupaya menyimpan secara rapat kasus-kasus korupsi yang melibatkan banyak pihak hingga elite politik itu agar tak terungkap ke publik. Kalau pun diungkap, cukup permukaannya, jangan sampai ke akar-akarnya. Lihatlah kasus Bank Century, BLBI, dan lainnya. Mereka yang berani bersuara lantang, harus siap menjadi martil. Munir adalah salah satunya. Aktivis HAM yang lantang itu harus tewas. Kematiannya diduga karena langkahnya yang berani.

Sikap ketidakjujuran juga banyak ditunjukkan para anggota dewan. Bukannya berupaya membantu membuat kebijakan agar kehidupan rakyat makin baik, mereka malah terendus memainkan anggaran untuk kepentingan pribadi. Mereka berupaya mengambil fee dari anggaran yang berhasil diloloskan. Bahkan, ada yang meminta fee terlebih dahulu dari pemerintah daerah. Namun, begitu fee telah diberikan, dan anggaran daerah akhirnya batal lolos, daerah pun berhak menagih janji mereka. Keborokan disembunyikan, sementara kebenaran disingkirkan.

Kejujuran kini telah mengalami krisis. Kejujuran seakan menjadi barang langka di negeri ini. Mereka yang berusaha tetap jujur harus tersingkirkan. Kejujuran menjadi sesuatu yang mahal. Bukan hanya harta dan jiwa, melainkan raga pun harus menjadi taruhannya. Kita berharap, di tengah karut-marutnya kondisi hukum dan politik di negeri ini, masih ada orang mau jujur dan terbuka. Semoga.


Tajuk Republika Senin, 13 Juni 2011 pukul 13:58:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar