Rabu, 13 April 2011

NU dan Pengembangan Masyarakat


(Tanggapan Opini 'Peran Sosial NU' oleh Shofiyul Arif Subchi)

Susianah Affandy

Koordinator Kajian Yayasan Pendidikan Muslimat NU, Mahasiswa Pascasarjana IPB


Membaca judul artikel "Peran Sosial NU" oleh Shofiyul Arif di koran ini (5/4) pada awalnya berhasil merangsang kita bernoltagia tentang masa-masa kejayaan organisasi kelompok sarungan di pedesaan tentang kiprahnya di masyarakat. Namun, ketika kita masuk lebih dalam, justru Shofiyul Arif cenderung menempatkan diri di posisi "ragu" terhadap peran sosial yang dimainkan NU.

Di paragraf ketiga, Shofiyul Arif tegas menyoroti tantangan NU saat ini adalah menghadapi ujian ekonomi kerakyatan yang dianggapnya kian merosot. Kemerosotan tersebut oleh Shofiyul Arif dihubungkan dengan tipe kepemimpinan NU yang menurutnya sangat menonjolkan sisi personal ketimbang keputusan para jamaah. Kepemimpinan seperti itu seakan dimaklumi oleh Shofiyul Arif karena menurutnya goresan sejarah NU lebih kental dengan warna "politik".

Dengan berbekal analisis kesejarahan yang tidak menunjukkan sumbernya itu, Shofiyul Arif di paragraf sembilan menarik kesimpulan sekaligus saran agar NU di masa depan menempati posisi sebagai perekayasa sosial. Dengan berani Shofiyul Arif menantang jika NU ingin mengambil peran sosial maka prasyaratnya adalah larangan untuk menengok masa silam NU.

Konsep "Community Development" yang diusung oleh Jim Ife (2000) bukanlah hal asing. Namun, ratusan tahun silam di pedesaan Jawa prinsip-prinsip dalam pengembangan masyarakat itu sudah dilakukan NU. Jika Shofiyul Arif menyimpulkan seakan NU di masa lalu hanya menempati ruang politik dan terkesan mengabaikan peran sosial, justru antropolog asal Amerika Serikat Cliffort Geertz melambung namanya sebagai intelektual hanya karena berdiam diri bersama para santri dan warga NU di pedesaan Jawa.

Shofiyul Arif sepertinya mengabaikan deretan penelitian para ahli tentang bagaimana mengakarnya tradisi NU di masyarakat. Shofiyul Arif tidak mempertanyakan mengapa masyarakat desa yang sebagian besar disebutnya sebagai warga NU itu tetap bertahan hidup meski dalam tekanan globalisasi yang sangat mengedepankan rasionalitas dan teknologi canggih. Geertz dalam//Religion of Java(1976) menganalisis adanya peranti keterhubungan antara bertahannya warga NU dengan struktur masyarakat desa.

Shofiyul Arif yang selama ini berdekatan dengan NU tentu akan sangat memahami keberadaan pesantren di desa-desa di Jawa adalah bak rumah kecil NU dan NU bagi masyarakat pedesaan merupakan pesantren besar. Pesantren ini sendiri, menurut Geertz, merupakan bagian dalam subkultur masyarakat mengingat keberadaan yang melekat dalam struktur sosial, memiliki basis dan jejaring yang sangat kuat.

Sebagai bagian dari NU, Shofiyul Arif tentu memiliki dokumentasi yang lengkap tentang kiprah NU dalam membangun bangsa Indonesia. Masa penjajahan Belanda, kiai NU di Jawa Timur berhasil menghimpun kekuatan masyarakat desa untuk melakukan perlawanan kepada penjajah yang kemudian dikenal dengan "resolusi jihad" yang kemudian menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Dalam rapat perumusan pancasila, NU juga memiliki wakil di dalamnya yakni KH Wahid Hasyim (ayah alm Gus Dur).

Melihat peran sosial NU yang sangat strategis tersebut, Zamakhsari Dhofir (1982) mengurai sebab-musababnya karena posisi kiai dan pesantren di masyarakat tidak saja sebagai pemimpin agama, namun juga sebagai pemimpin gerakan sosial politik.

Sikap pesimistis dan ragu yang disampaikan blak-blakan oleh Shofiyul Arif terhadap peran sosial NU lebih disebabkan ia hanya memotretnya dengan kacamata "politik", khususnya politik pascareformasi. Jika Shofiyul Arif mengajak kita melupakan masa lalu, justru penulis ingin mengajak sejenak merefleksi siapa dan di mana posisi kita di masa lalu untuk kemudian memetakkan posisi dan peran di masa depan.

Di ma sa pemerintahan Orde Baru, tak hanya NU yang mengalami ”belenggu” bahkan semua organisasi sosial dan politik ketika itu pun harus patuh dengan ”asas tunggal”. Ideo logi pembangunan untuk mencapai kesejahteraan yang diusung Orde Baru berhasil menggusur sikap kri tis masyarakat. Semua rancangan pembangunan pede saan datang dari pusat. Kemis kinan dan kebodohan warga NU dianggap sebagai hambatan.

Makanya, pendekatan pembangunan yang dikenal dengan "basic-need approach" sasaran utamanya adalah kelompok tradisional tersebut. Upaya industrialisasi berbasiskan pertanian yang mengiringi ideologi hijau secara tidak langsung membenarkan adanya eksploitasi sumber daya alam besar-besaran.

Penulis mengapresiasi komitmen PBNU pimpinan KH Said Aqil Siroj untuk kembali ke pesantren sebagai lahan dakwah NU dan aras pengembangan masyarakat Islam. Kita harus memahami berpolitik atau tidak itu hak asasi warga NU, sepanjang tidak menyeret institusi NU. Wallahu a’lam bish shawab.

Republilka.online 13 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar